juventus-sudah-mengalami-krisis-buruk-dari-tahun-2009

Juventus Sudah Mengalami Krisis Buruk Dari Tahun 2009

Juventus Sudah Mengalami Krisis Buruk Dari Tahun 2009. Di tengah hembusan angin musim gugur 2025, Juventus kembali tersandung dalam jurang krisis yang sudah lama mengintai. Pekan ini, setelah tiga kekalahan beruntun melawan Como, Real Madrid, dan Lazio, Si Nyonya Tua mencatatkan rekor buruk: tujuh laga tanpa kemenangan, yang terakhir kali terjadi sejak 2009. Ini bukan sekadar nasib sial; ini pengingat pahit bahwa sejak lebih dari satu dekade lalu, klub raksasa Italia ini telah bergulat dengan badai yang tak kunjung reda. Dari bayang-bayang skandal masa lalu hingga lubang finansial yang menganga, Juventus seperti kapal karam yang susah bangkit. Musim 2025/2026 baru berjalan, tapi posisi mereka di papan bawah Serie A sudah mengkhawatirkan. Apa yang dimulai sebagai guncangan di akhir 2000-an kini jadi pola kronis: kegagalan di Eropa, pergantian pelatih, dan hilangnya identitas. Bagi fans setia, ini saatnya bertanya: apakah Juventus bisa lepas dari lingkaran setan ini, atau krisis 2009 hanyalah awal dari akhir yang panjang? INFO CASINO

Bayang-Bayang Skandal Awal: Fondasi Rapuh Sejak 2009: Juventus Sudah Mengalami Krisis Buruk Dari Tahun 2009

Tahun 2009 menandai titik balik yang kelam bagi Juventus, meski akar masalahnya tertanam lebih dalam dari skandal Calciopoli tiga tahun sebelumnya. Saat itu, klub baru saja kembali ke puncak Serie A setelah degradasi memalukan pada 2006, tapi luka itu belum sembuh. Musim 2008/2009, di bawah Ciro Ferrara, mereka finis ketiga—cukup untuk lolos ke Liga Champions, tapi performa inkonsisten mulai terlihat. Puncaknya, kekalahan agregat 0-4 dari Fulham di babak 32 besar Liga Europa jadi tamparan keras, menunjukkan betapa rapuhnya skuad saat menghadapi tim asing.

Masalahnya bukan hanya di lapangan. Finansial klub sudah mulai goyah akibat denda dan hilangnya pendapatan dari degradasi. Pada 2009, utang mencapai ratusan juta euro, memaksa manajemen memangkas gaji pemain dan menjual aset. Diego, bintang Brasil yang dibeli mahal, gagal memenuhi ekspektasi dan dijual rugi. Pergantian pelatih dari Ferrara ke Alberto Zaccheroni di paruh musim 2009/2010 cuma tambal sulam; mereka finis tujuh, terburuk sejak kembalinya ke Serie A. Ini era di mana Juventus kehilangan aura dominasi, bergantung pada veteran seperti Del Piero yang mulai menua. Krisis ini seperti retakan kecil yang melebar: fans mulai gelisah, dan Eropa jadi mimpi buruk. Sampai 2011, saat Antonio Conte datang, baru ada titik terang—tapi fondasi rapuh itu tetap ada, siap runtuh kapan saja.

Badai Finansial dan Hukuman: Krisis Mencapai Puncak di 2020-an: Juventus Sudah Mengalami Krisis Buruk Dari Tahun 2009

Pergantian abad membawa harapan dengan era Conte, yang menyabet sembilan gelar Serie A berturut-turut dari 2012 hingga 2020. Tapi di balik gemerlap domestik, krisis finansial merayap diam-diam. Sejak 2009, Juventus sudah bergulat dengan aturan Financial Fair Play UEFA, tapi skandal plusvalenze pada 2022 jadi bom waktu. Investigasi mengungkap manipulasi nilai transfer pemain untuk seimbangkan neraca, menyebabkan pengurangan 15 poin di Serie A musim 2022/2023—jatuh dari puncak ke zona tengah dalam semalam.

Andrea Agnelli, presiden saat itu, dan Fabio Paratici, direktur olahraga, terlibat langsung. Resignasi massal dewan direksi pada November 2022 picu kekacauan total: saham klub anjlok, sponsor mundur, dan sanksi UEFA larang mereka dari kompetisi Eropa musim berikutnya. Ini bukan krisis baru; sejak 2009, pola serupa terulang—utang menumpuk dari investasi berlebih di pemain seperti Ronaldo pada 2018, yang biayanya melebihi 500 juta euro tapi hanya beri satu gelar Liga Champions. Pada 2023, pengurangan poin lagi-lagi datang, kali ini 10 poin, membuat musim 2023/2024 berakhir di posisi tiga dengan susah payah. Massimiliano Allegri, yang kembali 2021, dipecat di tengah kontroversi, meninggalkan Thiago Motta dengan warisan berat. Finansial tetap jadi momok: pada 2025, Juventus masih berjuang capai break-even, dengan kerugian tahunan mencapai 200 juta euro. Ini siklus vicious: hutang ciptakan keputusan buru-buru, yang lahirkan hasil buruk, dan kembali ke hutang.

Hilangnya Identitas: Dampak Jangka Panjang Hingga 2025

Lebih dari angka dan poin, krisis Juventus sejak 2009 adalah soal identitas yang pudar. Era Conte dibangun di disiplin taktis, tapi setelah ia pergi 2014, skuad bergantung pada bintang individu—Pirlo, Dybala, Ronaldo—bukan sistem kolektif. Kepergian Buffon dan Chiellini pada 2021 jadi pukulan fatal; mentalitas “fino alla fine” hilang, diganti keraguan dan konflik internal. Di 2025, di bawah Thiago Motta, ini terasa lebih nyata: kekalahan 0-2 dari Lazio pekan lalu perpanjang winless streak ke tujuh laga, termasuk dua di Liga Champions melawan Real Madrid.

Pemain seperti Vlahovic kesulitan adaptasi, lini tengah lemah tanpa kreator sejati, dan pertahanan bocor seperti jaring tua. Fans, yang dulu isi stadion 40 ribu, kini protes di jalanan Turin menuntut transparansi. Dampaknya luas: akademi muda tak lagi produksi talenta kelas dunia, dan persaingan dengan Inter serta Milan makin jauh. Sejak 2009, Juventus gagal raih trofi Eropa mayor, dengan final Liga Champions 2017 jadi mimpi buruk terakhir. Krisis ini bukan cuma olahraga; ini cerita kegagalan manajemen dalam adaptasi era modern—dari streaming hingga regulasi ketat. Motta punya waktu singkat untuk ubah narasi, tapi tanpa investasi cerdas, Juventus risiko jadi bayang-bayang diri sendiri.

Kesimpulan

Krisis Juventus sejak 2009 adalah kisah tragis tentang kejatuhan lambat: dari fondasi retak pasca-skandal, badai finansial yang menghantam, hingga hilangnya jiwa yang dulu buat mereka tak terkalahkan. Pekan ini, dengan posisi merah di klasemen dan sorak fans yang redup, klub ini berada di persimpangan. Thiago Motta dan manajemen baru punya peluang reset, tapi butuh lebih dari kata-kata—reformasi finansial, bangun ulang identitas, dan kesabaran fans. Sepak bola Italia tak pernah kehabisan plot twist, dan Juventus, dengan sejarah gemilangnya, masih punya api untuk bangkit. Tapi jika pola 16 tahun terakhir berlanjut, akhirnya bisa lebih kelam dari yang dibayangkan. Bagi Si Nyonya Tua, saatnya bangun atau tenggelam selamanya.

BACA SELENGKAPNYA DI…

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *